Kasus Kekerasan Seksual Perempuan Belum Tertangani dengan Baik
KOTA MUNGKID_Kasus kekerasan seksual perempuan di Indonesia, hingga saat ini belum tertangani dengan baik. Salah satu buktinya, penanganan korban belum masuk dalam BPJS. Fakta yang lain, pelaku kekerasan seksual tidak hanya pedofil laki-laki, tapi juga ada pedofil perempuan dan ada juga yang bukan pedofil. Bahkan sudah ada pedofil anak dan remaja usia 9-17 tahun.
“Fakta-fakta ini sebagai akibat dari pembiaran yang terjadi selama ini. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah kita semua. Ada harapan, saat ini banyak lembaga, instansi pemerintahan mau pun LSM, yang mulai perhatian terhadap kekerasan seksual perempuan ini,” kata Ristia Indradiyahningrum, Anggota Himpuan Psikolog Indonesia (HIMPSI) Cabang Jawa Tengah, dalam forum Sosialisasi Penanganan Psikologis Tahap Awal Korban Kekerasan Seksual dilingkungan KPU kab/kota di Jawa Tengah yang digelar KPU Provinsi Jawa Tengah secara daring menggunakan zoo meeting, Rabu (8/10/2025. Sosialisasi secara virtual ini diikuti seluruh satuan kerja KPU kab/kota di Jawa Tengah termasuk KPU Kabupaten Magelang.
Disampaikan lagi, jika fakta kekerasan seksual/pencabulan di Indonesia, tidak ada tindakan efektif, tidak tersedia asesmen dan intervensi spikologi yang berkesinambungan terhadap korban dan pelaku. Sejauh ini memang sudah ada undang-undang pelecehan seksual, seperti KUHP pasal 289 dengan ancaman penjara paling lama 9 tahun dan KUHP pasal 294, ancaman penjara paling lama 7 tahun. Namun demikian, penanganan kasus ini, belum maksimal.
“Yang perlu kita ketahui bersama, bahwa dampak terhadap korban jadi minder, rendah diri/depresi atau malah menjadi-jadi (terperangkap). Jika tidak dilakukan penanganan, korban bisa melakukan balas dendam karena dampak destruktif secara psikologis,” jelasnya.
Secara psikologis, lanjutnya, korban menjadi kebingungan, ketakutan, rasa bersalah, ilusi, harapan kosong. Sementara itu, proses pemulihan korban tidak bisa instan, naik turun. “Faktor yang bisa membantu korban cepat pulih, adalah dukungan sosial, validasi, terapi, dan rasa makna hidup. Jangan lupakan juga, peran pendamping,” tegasnya.
Sebelumnya Muslim Aisha, Ketua Divisi Hukum KPU Jawa Tengah yang mewakili Ketua KPU Jawa Tengah sekaligus anggota Satgas Pencegahan Kekerasan Seksual Perempuan, dalam sambutan pembukanya mengatakan, tugas utama satgas adalah pencegahan. Namun bila sampai ada kejadian, maka kita akan ketemu dengan korban. Jika demikian maka kita membutuhkan pendampingan secara spikologi.
“Terkait hal ini, maka kita perlu mengetahui dan belajar tentang spikologi korban yang takut, cemas, kawatir, rendah diri, takut lapor dan lain-lain. Menyadari situasi semacam ini, temen-temen jejaring di KPU Kabupaten/Kota, perlu mengetahui hal ini. Nara sumber hari ini, sangat kompeten untuk kita bisa belajar tentang semua itu,” katanya.
Sedang Mey Nurlela, Ketua Satgas Pencegahan Kekerasan Seksual Perempuan KPU Jawa Tengah menambahkan, ini kegiatan yang kesekian kali kita adakan. “Hari ini adalah tindaklanjut dari kegiatan-kegiatan sebelumnya. Sejauh ini ada beberapa KPU Kab/Kota yang belum melaksanakan sosialisasi. Karena itu, kami minta bagi yang belum disegerakan. Ini sebagai iktiar kita untuk antisipasi agar kedepan tidak terjadi dilingkungan kita,” pintanya.
Disampaikan Mey, hari ini kita akan belajar tentang psikologi korban. “Dengan kita tau spikologi korban, maka bila kasus ini terjadi dilingkungan kita, kita bisa melakukan langkah antisipasi terhadap dugaan korban termasuk dugaan pelaku tentunya secara spikologi. KPU Kab/Kota memang tidak melakukan tindakan, namun saya kira penting bagi temen-temen untuk mengetahui dan paling tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Harapan kita tentu, jika ada kasus bisa diselesaikan dengan baik tidak sampai ramai ke atas dan keluar dari lembaga kita," pungkasnya. (***/RED)