Opini

Hambatan, Ancaman dan Tantangan Pilkada 2024

***) Oleh : Yohanes Bagyo Harsono

Usai melaksanakan pesta demokrasi memilih presiden dan wakil presiden serta legislatif, 14 Februari 2024 kemarin, bangsa Indonesia akan kembali melaksanakan pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), mulai Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak, pada Rabu Pon, 27 November 2024 mendatang. Pilkada serentak ini akan menjadi ujian yang sesungguhnya bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan demokrasi. Seperti pada Pemilu dan Pilkada sebelumnya, tentu banyak hambatan, ancaman dan tantangan yang akan dihadapi. Tidak hanya oleh pemerintah, penyelenggara, tapi juga rakyat Indonesia secara luas.

Sejak tahapan Pilkada Serentak 2024 diluncurkan  KPU di Candi Prambanan, Minggu (31/3/2024) lalu, dinamika perpolitikan di Indonesia mulai “memanas”. Terutama sejak sejumlah parpol dan gabungan parpol mulai menjalin komunikasi-komunikasi politik untuk saling membangun koalisi. Demikian pula saat masuk tahapan pencermatan data pemilih dan pendaftaran bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota tanggal 27 – 29 Agustus mendatang. Dinamika tentu akan terus berubah dan berkembang.

Terlepas dari itu, dipastikan akan ada banyak hambatan, ancaman dan tantangan yang dihadapi oleh pemerintah, para penyelenggara dan tentunya seluruh rakyat Indonesia dalam upaya untuk mewujudkan Pilkada berkualitas dan berintegritas di Tahun 2024 ini. Selain tentunya masalah teknis persiapan Pilkada, masalah partisipasi pemilih, masalah transparansi, dan tata kelola pemilu yang akuntabel dan masa kampanye. Masih ada hambatan, ancaman dan tantangan lain diluar itu. Salah satunya tentu soal praktek “money politik”. Praktek-praktek politik uang ini, ibarat “hantu”. Tidak bisa dilihat dan dibuktikan, tapi dimasyarakat hal itu nyata ada. 

Seperti pada Pemilu 2024 kemarin, praktek-praktek politik uang, kemungkinan masih akan terjadi pada Pilkada 2024 besok. Hal ini didukung sikap masyarakat / pemilih di Indonesia yang cenderung prakmatis. Politikus utamanya para tim sukses, simpatisan, kader para calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota, tentu akan melakukan segala cara untuk mendapatkan simpati pemilih. Dimungkinkan segala cara akan mereka lakukan untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya. Halal atau tidak, melanggar atau tidak, mereka tidak memikirkannya. Terpenting bagaimana caranya agar mereka bisa menang dan terpilih.

Praktek money politik kemungkinan akan lebih terpampang nyata tidak seperti pemilu sebelumnya yang lebih banyak dilakukan saat menjelang hari pemungutan suara atau disebut "serangan fajar". Pada Pilkada 2024 "transaksi suara" dengan para pemilih kemungkinan akan terjadi secara nyata. Bahkan kemungkinan, transaksi akan dilakukan tidak dengan "person to person", tapi dengan kelompok/gabungan masyarakat. Bisa jadi dilakukan oleh tim sukses dengan perwakilan masyarakat yang mengatasnamakan RT/RW, kampung/dusun atau bahkan desa. Bisa juga dengan kelompok-kelompok masyarakat/kelompok keagamaan / organisasi pemuda dan yang lain.

Hal kedua bentuk hambatan, ancaman dan tantangan yang akan dihadapi adalah politik identitas. Untuk diketahui, politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut. Dalam hal ini, identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa 'sama', baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya (wikipedia). 

Hal ini tentu menjadi tantangan dan ancaman seluruh jajaran penyelenggara, khususnya KPU Kabupaten Magelang, untuk melaksanakan Pilkada yang jujur, adil dan berintegritas. Untuk diketahui, pada Pemilu 2024 kemarin angka partisipasi masyarakat mencapai 90,1 persen atau naik dari 86 persen pada Pemilu 2019 lalu. Ini tentu menjadi tantangan selanjutnya bagi KPU Kabupaten Magelang, untuk mempertahankan angka partisipasi tersebut.

Sejauh ini, berbagai upaya akan dilakukan KPU Kabupaten Magelang untuk mempertahankan angka partisipasi dan meminimalisasi  praktek money politik, politik identitas, kampanye hitam maupun bentuk-bentuk kecurangan lainnya. Diantaranya dengan menggencarkan sosialisasi secara masif dengan target sasaran seluruh komponen masyarakat diwilayah ini. Mulai dari pemilih pemula, komunitas difabel, organisasi masyarakat, kepemudaan, lansia, komunitas-komunitas dan sebagainya. Tidak hanya secara luring, secara daring juga akan dilakukan. Sosialisasi dengan memaksimalkan media cetak, radio, televisi dan online juga akan dilakukan. Disamping itu juga akan mengoptimalkan media sosial dan website KPU Kabupaten Magelang serta admin-admin media sosial diwilayah ini. 

Apa yang dilakukan KPU Kabupaten Magelang ini, patut diapresiasi sebagai salah satu upaya untuk mempertahankan angka partisipasi masyarakat pada Pemilu 2024 kemarin. Disisi lain juga sebagai upaya menekan atau meminimalisasi praktek money politik, politik identitas, kampanye hitam maupun bentuk-bentuk kecurangan dalam Pilkada mendatang. Kontribusi kita sebagai bagian dari rakyat Indonesia, adalah ikut dan mendukung upaya yang telah dilakukan oleh jajaran penyelenggara mulai dari KPU dan Bawaslu. Meski sulit, tapi minimal akan mengurangi bentuk-bentuk kecurangan yang dapat menciderai proses demokrasi. (*)

***)Anggota KPU Kabupaten Magelang Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih Partisipasi Masyarakat dan SDM

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 3,080 kali