
Hari Kebangkitan Nasional ke-117, Momen Kebangkitan Demokrasi Indonesia
*)Oleh: Yohanes Bagyo Harsono, ST
Ketua Divisi Sosdiklih, Parmas dan SDM, KPU Kabupaten Magelang
HARI ini, Selasa 20 Mei 2025, Bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) ke-117. Sudah lebih satu abad kita peringati, perjalanan Bangsa Indonesia untuk bangkit melawan penjajahan. Di era saat ini, perjuangan Bangsa Indonesia sudah tidak berjuang melawan penjajahan dengan pertumpahan darah, melainkan “penjajahan” karena pengaruh budaya asing, perilaku yang buruk karena dampak teknologi yang negatif dan lainnya. Meski demikian, jika kita tidak berhati-hati, bukan darah yang tertumpah, namun meningkatnya pelaku kriminal, korupsi merajalela, jurang kemiskinan, gap antara kaya dan miskin akan semakin timpang.
Dibidang Demokrasi, paska Pemilu dan Pilkada 2024, harusnya rakyat, para politisi, dan peserta Pemilu (Parpol), bisa Introspeksi. Tidak hanya mereka, lembaga penyelenggara pemilu juga demikian. Semua harus mengevaluasi. Tidak ada yang sempurna. Namun selalu ada catatan-catatan yang harus diperbaiki. Setiap gelaran Pemilu dan Pilkada, memang akan mencatatkan sejarahnya sendiri-sendiri. Catan-catanan Pemilu 2018 dan Pilkada 2019, tentu berbeda dengan Pemilu dan Pilkada serentak 2024.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru Nomor 313/PHPU.BUP-XXIII/2025 dengan mendiskualifikasi seluruh pasangan calon (Paslon) Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara di Provinsi Kalimantan Tengah pada Pilkada 2024, karena terbukti keduanya “main politik uang” dalam pemungutan suara ulang (PSU). Hal ini bisa menjadi salah satu bahan evaluasi kita bersama. MK secara tegas, telah memutuskan diskualifikasi Paslon Nomor Urut 1 Gogo Purman Jaya-Hendro Nakalelo dan Paslon Nomor Urut 2 Akhmad Gunadi Nadalsyah-Sastra Jaya, dari kepesertaan dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara 2024.
Dalam kasus tersebut, MK menemukan fakta adanya pembelian suara pemilih untuk memenangkan paslon nomor urut 2 dengan nilai sampai dengan Rp16 juta per pemilih. Bahkan, salah satu saksi di persidangan mengaku menerima total uang Rp 64 juta untuk satu keluarga. Pembelian suara pemilih juga dilakukan untuk memenangkan paslon nomor urut 1 dengan nilai sampai dengan Rp 6,5 juta untuk satu pemilih. Salah seorang saksi yang menerima uang sebanyak Rp19,5 untuk satu keluarga, bahkan mengaku dijanjikan umrah apabila paslon tersebut menang. Fantastis! Kasus ini bagaimana pun telah mencederai rasa keadilan serta merusak kepastian hukum dalam demokrasi di Indonesia.
Keputusan MK ini, harusnya bisa menjadikan bahan introspeksi untuk para peserta Pemilu/Pilkada. Lembaga penyelenggara Pemilu (DKPP, KPU dan Bawaslu), aparat penegak hukum serta DPR RI sebagai pembuat undang-undang untuk kembali membuat sebuah regulasi yang lebih mampu melawan politik uang tersebut.
Sebelumnya tindak pidana politik uang untuk Pemilu diatur dalam Pasal 523 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang dibagi dalam 3 kategori yakni pada saat kampanye, masa tenang dan saat pemungutan suara. UU Pemilu juga mengatur sanksi bagi pelaku politik uang di Pasal 515 dan Pasal 278 ayat (2).
Sedang untuk Pilkada, merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016. Dalam pasal 73 disebutkan, pasangan calon, tim kampanye, partai politik, serta pihak lain dilarang memberikan atau menjanjikan uang maupun materi kepada penyelenggara dan pemilih. Sanksi pemberi politik uang diatur dalam Pasal 187A ayat 1 dan 2 UU Nomor 10 Tahun 2016.
Meski sudah ada UU tersebut, namun kenyataannya masih saja terjadi praktek politik uang tersebut. Tentu ada yang salah! Ini yang harus kita cari bersama-sama. Kemarin sempat muncul wacana pelaksanaan Pilkada akan dilaksanakan secara tertutup karena alasan mahal. “Mahal” itu tentu relative. Bagi peserta Pemilu/Pilkada, kalau menggunakan praktek politik uang, tentu akan berkata mahal. Bayangkan saja, di Pilkada Barito Utara tersebut, satu KK bisa mendapatkan Rp 19,5 juta hingga Rp 64 juta. Untuk satu pemilih bisa mendapatkan Rp 6,5 juta. Rejeki nomplok bagi yang menerima. Namun kenapa hal itu bisa terjadi? Pertanyaan ini yang harus kita cari jawabannya.
Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara yang konsen untuk melakukan pencegahan terhadap pelanggaran dan praktek politik uang, salah satunya tentu yang bisa menjawab. Kita juga bisa bertanya pada aparat penegak hukum lainnya (Kejaksaan dan TNI/Polri). Disisi lain, masyarakat/pemilih kenapa juga mau menerima praktek-praktek kecurangan tersebut. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang harus kita cari jawabannya bersama-sama.
Maka moment Hari Kebangkitan Nasional ke-117 ini, bisa menjadi bahan introspeksi kita bersama-sama untuk bangkit melawan kecurangan-kecurangan terutama politik uang yang hampir selalu terjadi dalam Pemilu dan Pilkada di negara kita ini. Seperti dalam sambutan Menteri Komdigi RI Meutya Hafid pada upacara Harkitnas ke -117. Jadilah pohon, yang memiliki akar yang kuat untuk menunjang pohon dan menghasilkan buah serta bunga yang bagus. Meski pelan, tapi pasti, kita harus meletakkan akar yang kuat untuk sebuah perubahan dalam setiap pesta demokrasi kedepan, sehingga menghasilkan pemimpin-pemimpin yang amanah, jujur dan bersih. Merdeka!